Jam Dunia Ello rohman

Selasa, 09 Maret 2010

ESTAFET DAKWAH RASULULLAH HINGGA PARA SUNAN SAMPAI PARA KIAYI KETURUNAN RASULULLAH


Semua orang Madura dan hampir seluruh orang Jawa, khususnya kaum santri, pasti mengenal nama Asy-Syekh Muhammad Kholil yang oleh kebanyakan orang lebih dikenal dengan sebutan “Syaikona Kholil Bangkalan”. Dalam paket-paket ziarah makam-makam wali Madura, makam Syekh Kholil termasuk tiga “makam besar” yang pasti masuk dalam program, selain Makam Syekh Batu Ampar Pamekasan dan Syekh Yusuf Sumenep.

Mengingat nasab Syekh Kholil yang bersambung pada Al-Husain bin Fathimah binti Rasulillah SAW, maka saya rasa akan lebih mengasyikkan kalau kita membicarakan tentang dua hal yang berkaitan dengan Syekh Kholil sebagai cucu Rasulullah SAW. Pertama, bahwa Syekh Kholil dan cucu-cucu Rasulullah lainnya -yang memiliki nasab jelas- membuktikan kebenaran janji Allah untuk meberi keturunan yang banyak kepada Rasulullah SAW.

Kedua, bahwa Rasulullah SAW tidak hanya cukup bangga dengan jumlah keturunan yang banyak, melainkan beliau akan lebih bangga karena ternyata banyak sekali dari keturunan beliau yang menjadi orang berprestasi. Tentang dua hal ini, sebenarnya saya telah menulisnya dalam buku saya yang berjudul “Dari Kanjeng Nabi Sampai Kanjeng Sunan”. Namun masih sangat pas untuk dibicarakan kembali pada buku ini.

KETURUNAN RASULULLAH MEMENUHI BELAHAN BUMI


Ketika Al-Qasim, putra Rasulullah Shallallahu'alayhi wa sallam, wafat dalam usia masih kecil, terdengarlah berita duka itu oleh beberapa tokoh musyrikin, diantara mereka adalah Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il. Mereka kegirangan dengan berita itu, mereka mengejek Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa sallam dengan mengatakan bahwa beliau tidak lagi memiliki anak laki-laki yang dapat melanjutkan generasi keluarga beliau, sementara orang Arab pada masa itu merasa bangga bila memiliki anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan mereka. Untuk menjawab ejekan Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il itu, Allah menurunkan surat Al-Kautsar yang ayat pertamanya berbunyi:

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
“Sesungguhnya Kami memberimu karunia yang agung.”

Al-Kautsar artinya karunia yang agung, dan karunia yang dimaksud dalam ayat itu adalah bahwa Allah akan memberi banyak keturunan pada Rasulullah SAW melalui putri beliau, Fatimah Az-Zahra’. Sementara Abu lahab dan ‘Ash bin Wa’il dinyatakan oleh ayat terakhir surat Al-Kautsar, bahwa justru merekalah yang tidak akan memiliki keturunan, yaitu ayat..

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ
“Sesungguhnya orang yang mengejekmu itulah yang tidak sempurna (putus keturunan).”

Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah, sampai kini keturunan Rasulullah, melalui Al-Hasan dan Al-Husain putra Fatimah Az-Zahra’, benar-benar memenuhi belahan bumi, baik mereka yang dikenal sebagai cucu Rasulullah oleh masyarakat, maupun yang tidak.

Sekedar gambaran, saya memiliki banyak data tentang silsilah Ulama-ulama Pesantren yang dikenal sebagai “Kiai” Indonesia, khususnya Jawa (termasuk Madura), Hampir seratus persen dari mereka memiliki garis nasab pada Rasulullah SAW, seperti Kiai-kiai keturunan keluarga Azmatkhan, Basyaiban dan sebagainya. Kemudian, di berbagai daerah, kaum santri sangat didominan oleh keluarga-keluarga yang bernasab sama dengan Kiai-kiai itu, bedanya hanya karena beberapa generasi sebelum mereka tidak berprestasi seperti leluhur “keluarga Kiai”, sehingga setelah selisih beberapa generasi, merekapun tidak dikenal sebagai “keluarga Kiai”, tapi hanya sebagai “keluarga santri”.

Di Madura ada semacam “pepatah” yang mengatakan bahwa kalau ada santri yang sampai bisa membaca “kitab kuning” maka pasti dia punya nasab pada “Bhujuk”. Bhujuk adalah julukan buat Ulama-ulama zaman dulu yang membabat alas dan berda’wah di Madura. Semua Bhujuk Madura memiliki nasab pada Rasulullah SAW. Kebanyakan mereka keturunan Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus. “Pepatah” itu memang hanya dibicarakan di kalangan “orang awam”, namun kenyataan memang sangat mendukung, hampir semua masyarakat santri di Madura adalah keturunan “Bhujuk”, sehingga tidak mustahil apabila di Madura orang yang memiliki “darah Rasulullah” lebih banyak daripada yang tidak. Saya banyak mendapati perkampungan yang mayoritas penduduknya masih satu rumpun dari keturunan seorang Bhujuk yang bernasab pada semisal Sunan Ampel dan sebagainya.

Mungkin hal itu akan menimbulkan pertanyaan “mengapa bisa demikian?”. Maka jawabannya adalah bahwa keluarga Bhujuk dan Kiai Madura dari zaman dulu memiliki anak lebih banyak daripada orang biasa, apalagi hampir semua mereka dari zaman dulu -bahkan banyak juga yang sampai sekarang- memiliki istri lebih dari satu, maka tentu saja setelah puluhan generasi maka keturunan Bhujuk-bhujuk itu lebih mendominan pulau Madura.

Kalau ada yang berkata bahwa tidak semua Kiai keturunan “Sunan” itu bergaris laki-laki, bahkan kebanyakan mereka (?) adalah keturunan “Sunan” dari perempuan, maka pertanyaan itu justru dijawab dengan pertanyaan “kenapa kalau bergaris perempuan?”. Islam dan “budaya berpendidikan” telah “sepakat” untuk membenarkan “status keturunan” dari garis perempuan. Apabila ada orang yang membedabedakan garis laki-laki dan perempuan maka berarti orang itu bukan penganut paham Islam yang sebenarnya dan bukan pula penganut “budaya berpendidikan.” Dan lebih “tidak berpendidikan” lagi orang yang mengatakan bahwa hubungan nasab keturunan anak perempuan terputus dari ayah si perempuan. Paham ini berakibat pada penolakan terhadap keturunan Rasulullah sebagai Ahlulbayt, ada banyak orang Arab awam yang berkata bahwa Rasulullah SAW tidak memiliki keturunan dari anak laki-laki, Hasan-Husain adalah putra Fathimah yang berarti putus nasab dari Rasulullah SAW. Paham ini sebenarnya adalah warisan bangsa Arab jahiliyah yang pernah diabadikan dalam syair mereka:

بَنـُوْنَا بَنُوْ أَبْنَائِنَا وَبَـنَاتُنَا بَنُوْهُنَّ أَبْنَاءُ الرِّجَالِ الأَبَاعِدِ
“Anak-anak kami adalah keturunan dari anak-anak laki-laki kami. Adapun anak-anak perempuan kami, keturunan mereka adalah anak-anak orang lain.”

Cucu dari anak perempuan itu hanya keluar dari deretan daftar ahli waris, dalam istilah ilmu “Fara’idh” disebut “mahjub” (terhalang untuk mendapat warisan). Namun dalam deretan “dzurriyyah” (keturunan), cucu dari anak perempuan tidak beda dengan cucu dari anak laki-laki; mereka sama-sama cucu yang akan dipanggil “anakku” oleh kakek yang sama. Apabila kakek mereka adalah orang shaleh maka mereka sama-sama masuk dalam daftar keturunan yang akan mendapat berkah dan syafa’at leluhurnya, sebagaimana firman Allah:

وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيْمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ ..
“Dan orang-orang yang beriman dan anak-cucu mereka mengikuti mereka dengan beriman, maka Kami gabungkan anak cucu mereka itu dengan mereka .. “ (Q.S. Ath-Thur : 21)

Jadi, madzhab kita adalah bahwa cucu dari garis perempuan dan dari garis laki-laki itu sama-sama cucu, kalau kakek mereka ulama shaleh maka -insyaallah- mereka sama-sama akan mendapat berkah.

Termasuk anak cucu Rasulullah SAW, baik yang garis silsilahnya laki-laki semua hingga ke Rasulullah SAW, maupun yang melaui garis perempuan.

Madzhab ini telah lama dianut oleh Kiai-kiai keturunan Walisongo, terbukti dengan banyaknya kiai-kiai yang menulis nasab mereka yang bersambung pada Walisongo melalui garis perempuan. Terbukti pula dengan yang dikenal oleh Kiai-kiai bahwa Syekh Kholil adalah cucu Sunan Gunung Jati, padahal nasab Syekh Kholil pada Sunan Gunung Jati melalui garis perempuan, sedangkan dari garis laki-laki bernasab pada Sunan Kudus.

Madzhab ini baru tergeser sejak kedatangan orang-orang Arab pendatang baru. Kebetulan, mereka datang dari sebuah budaya dan adat yang memarginkan nasab garis perempuan. Terus terang saja, di hadapan mereka, pada umumnya keturunan Walisongo kalah fasih didalam berbahasa Arab, penampilan dan perawakan juga kalah, ditambah lagi darah keturuan Walisongo telah banyak bercampur dengan darah pribumi yang “dingin”, membuat mereka pada umumnya berpembawaan lembut. Nah, hal itulah yang membuat keturunan Walisongo sering mengalah pada orang Arab pendatang baru, termasuk mengalah dengan klaim mereka bahwa pendapat yang benar adalah “terputusnya nasab garis perempuan”. Bahkan sebagian keturunan Walisongo -tentu saja yang tidak ‘alim-, saya lihat mereka bukan mengalah, akan tetapi lebih pas disebut “dibodohi”, mau-maunya mereka mecampakkan madzhab leluhur demi mengikuti madzhab baru yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kekuatan argumentasinya. Namun, kenyataan juga membuktikan bahwa ikut-ikutan mereka itu hanya ketika berhubungan dengan orang Arab pendatang baru.

Terbukti dengan komentar seorang santri Madura yang saya anggap mewakili santri lain yang semadzhab, santri itu pernah berkata pada seseorang anak pasangan lelaki Madura dan perempuan Arab: “Kamu bukan keturunan Arab, soalnya ibu kamu yang Arab.” Sementara ketika ia ditanya tentang siapakah Kiai Abdullah Sachal, maka kontan saja santri itu menjawab: “Kiai Abdullah Sachal adalah keturunan Syekh Kholil Bangkalan.” Padahal dia tahu persis bahwa Kiai Abdullah Sachal adalah cucu Syekh Kholil dari garis ibu. Mengapa kalau ibunya orang Arab disebut bukan keturunan Arab, sedangkan kalau ibunya bernasab pada Syekh Kholil disebut keturunan Syekh Kholil?! Tidak ada seorangpun santri Madura yang berpikir -apalagi sampai berani bilang- bahwa Kiai Abdullah Sachal putus nasab dari Syekh Kholil.

Ini menunjukkan kerancuan dan keraguan si santri didalam bermadzhab, karena memang pada dasarnya semua santri Jawa dan Madura lebih cenderung pada madzhab Kiai-kiai yang diwarisi secara turun temurun sejak Walisongo, bahwa tidak ada bedanya antara garis laki-laki dan garis perempuan, kecuali dalam bab waris yang memang telah dibedakan oleh Islam dengan suatu alasan yang positif dan rasional.

Kembali ke bab kita, bahwa di Madura banyak terdapat keluarga-keluarga yang memiliki nasab pada Rasulullah, maka seperti di Madura, begitu pula yang terjadi di berbagai wilayah masyarakat Pesantren lainnya di Jawa. Maka bayangkan saja, betapa keturunan Rasulullah SAW telah memenuhi pulau Jawa, belum lagi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain. Ditambah dengan “jamaah habaib” yang memang sudah dikenal dengan “status menonjol” sebagai keturunan Rasulullah SAW.

Ini yang terjadi di Indonesia, dan demikian pula di negeri-negeri non Arab yang lain, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, Filipina, India, Pakistan, Afrika dan sebagainya. Banyak dari mereka yang sudah membaur dengan penduduk setempat sehingga mereka tidak lagi dikenal sebagai “Habib”, “Sayyid” atau julukan-julukan lainnya. Dalam kitabnya, “’Allimu Auladakum Mahabbata Aalin Nabi”, Syekh Muhammad Abduh Yamani mengatakan bahwa di Afrika banyak terdapat orang-orang kulit hitam yang ternayata memegang sisilsilah pada Rasulullah.

Hal itu dikarenakan leluhur mereka berbaur dengan orang kulit hitam, bergaul dan menikah dalam rangka menjalin hubungan sebagai jembatan da’wah. Kenyataan ini menyimpulkan bahwa masih banyak keturunan Rasulullah SAW yang tidak terdata dan tidak dikenal. Itu adalah gambaran jumlah keturunan Rasulullah SAW yang keluar dari tanah Arab dan tidak dikenal sebagai orang Arab. Jumlah yang amat besar ditambah dengan jumlah keturunan Rasulullah SAW yang di Arab.

Maka kenyataan ini membenarkan apa yang dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat Al-Kautsar, bahwa Rasulullah SAW akan diberi karunia agung dengan memiliki keturunan yang amat banyak. Sehingga kalau saja beliau dan orang-orang sezaman beliau masih hidup saat ini, maka beliau akan memiliki keluarga terbesar yang tak tertandingi oleh yang lain. Bisa jadi, bila kita mengumpulkan semua keturunan Rasulullah SAW sejak zaman beliau hingga kini, kemudian kita mengumpulkan seratus orang dari sahabat-sahabat beliau beserta keturunan mereka hingga kini, maka jumlah keturunan beliau akan mengalahkan keturunan seratus orang sahabat beliau.

ANAK CUCU BERPRESTASI


Banyak anak itu identik dengan “barokah”, dan memang dapat dikatakan demikian, karena keturunan beriman itu sangat bermanfaat, walaupun mereka tidak sampai menjadi orang-orang hebat dan berprestasi. Adapun Rasulullah SAW, beliau tidak hanya bisa bangga dengan banyak keturunan, melainkan beliau lebih bangga lagi karena ternyata keturunan beliau banyak melahirkan orang-orang hebat dan berprestasi.

Sebagai orang Asia, kita pantas tahu siapa orang-orang yang berjasa mengislamkan negeri-negeri Asia ini. Maka ketahuilah bahwa hampir semua mereka adalah keturunan Rasulullah SAW.

Sering terjadi perselisihan pendapat tentang dari mana datangnya para penyebar Islam di negeri-negeri Asia, termasuk Indonesia. Namun kalau diteliti maka perselisihan itu ibarat tiga orang buta yang menggambarkan bentuk gajah. Yang pertama berkata bahwa gajah itu mirip daun yang lebar dan tebal, karena ia hanya pernah meraba telinga gajah. Yang kedua berkata bahwa gajah itu mirip cambuk, karena ia hanya pernah memegang ekornya. Yang ketiga berkata bahwa gajah itu mirip pipa tapi lunak, karena ia hanya pernah memegang belalainya.

Demikianlah perumpamaan orang-orang yang berselisih pendapat tentang dari mana asal para pembawa Islam ke Indonesia. Ada yang berkata bahwa mereka berasal dari India, karena ditemukan batu-batu ukir khas Gujarat pada makam-makam mereka. Ada yang berkata bahwa mereka berasal dari Persia, karena di Persia terdapat sebuah perkampungan kuno yang dikenal dengan sebutan Kampung Jawi. Ada yang berkata bahwa mereka berasal dari Cina, karena Sunan Ampel adalah kelahiran Cina. Yang lain berkata bahwa semua itu salah, adapun yang benar adalah bahwa mereka berasal dari Arab.

Semua pendapat itu sebenarnya sama-sama benar. Namun lebih gamblangnya adalah bahwa para penyebar Islam itu berasal dari Arab, mereka keluar dari Arab dan mulai masuk ke tanah India, kemudian mereka atau generasi penerus mereka melanjutkan da’wah ke tanah Persia dan daratan Cina sampai akhirnya masuk ke Indonesia.

Kebanyakan mereka adalah keluarga Ahlul-bayt (keluarga Rasulullah SAW) keturunan Al-Husain, mereka datang dengan berbagai “profesi lahiriah”, ada yang tampil sebagai pedagang, politikus, pelancong dan sebaginya. Namun misi utama mereka adalah memperkenalkan Islam pada penduduk negeri-negeri.

Sejarah mencatat bahwa kedatangan Sayyid Abdul Malik bin Alawi ‘Ammil-faqih (kakek keluarga Azmatkhan) mengawali sejarah Islam di India, sejarah juga mencatat bagaimana putra beliau, Sayyid Abdullah Azmatkhan, bersaing dengan Marcopolo di daratan Cina, kemudian keturunan beliau juga mewarnai sejarah da’wah di Pilihpina, Indonesia dan sekitarnya.

Dalam buku berjudul “Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah”, H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini menukil perkataan Van den Berg, bahwa pengaruh islam di kalangan pribumi Indonesia bersumber dari kaum Alawiyyin yang bergelar “Sayyid” dan “Syarif”. Berkat upaya dan kegiatan mereka itulah agama Islam tersebar di kalangan Kerajaan Hindu di pulau Jawa dan di pulau-pulau lainnya. Meskipun ada orang-orang lainnya yang berasal dari Hadhramaut, mereka tidak mempunyai pengaruh yang kuat. Kenyataan besarnya pengaruh kaum “Sayyid” dan kaum “Syarif” terpulang pada martabat mereka sebagai keturunan seorang Nabi dan Rasul pembawa agama Islam, yakni Nabi Muhammad SAW.

Al-Hamid juga menukil perkataaan Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa sebagian besar penyebar agama Islam datang dari negeri jauh. Kebanyakan mereka dipanggil “Sayyid” karena mereka dari keturunan Al-Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad.

Tidak sedikit dari mereka yang sukses berda’wah dengan memanfaatkan kedudukan, merekapun menunjukkan kecakapan mereka didalam hal memimpin hingga merekapun dipercaya untuk memimpin sebuah Kerajaan, dan setelah mereka menjadi penguasa maka merekapun menerapkan hukum Islam sebagai landasan pemerintahan Kerajaan mereka.

Buku “Sejarah Serawak” di perpustakaan “Rafles”, di Singapura, menyebutkan bahwa Sultan Barakat adalah seorang keturunan Al-Husain. Dijelaskan pula bahwa beliau datang dari Tha’if dengan sebuah kapal perang yang sangat terkenal pada saat itu. Nasab beliau adalah Barakat bin Thahir bin Isma’il (terkenal dengan nama julukan “Al-Bashriy“) bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir.

Disebutkan pula bahwa kaum Syarif di Makkah pada umumnya adalah keturunan Al-Hasan, mereka tidak melakukan penyebaran Islam ke seberang lautan. Adapun yang menyebarkan Islam hingga ke seberang lautan adalah kaum Sayyid keturunan Al-Husain yang berasal dari Hadhramaut. Kegiatan itu lebih gencar mereka lakukan setelah terjadinya penyerbuan kaum Khawarij sekte Abadhiyyah terhadap Hadhramaut. Kota tempat mereka bermukim adalah Bait Al-Jabir, termasuk pusat perniagaan di negeri itu. Mereka mengumpulkan bekal dari Mirbath, kemudian diangkut dengan kafilah ke Yaman.

Disebutkan pula: Sejarah kaum muslimin Filipina dan sejarah Sulu menyebutkan bahwa mereka berasal dari keturunan ‘Abdullah bin Alawi Ammul-Faqih bin muhammad Shahib Mirbath.

Sayyid Abdullah bin Alawi adalah bersaudara dengan Sayyid Abdul Malik (kakek marga Azmatkhan) dan Sayyid Abdurrahman (kakek marga Al-Haddad dsb.). Semula, keturunan Sayyid Abdullah dianggap telah putus generasi, karena mereka meninggalkan Hadhramaut dan tidak ada kabar tentang mereka, sehingga pada beberapa generasi yang lalu Ulama ahli nasab tidak mencatat Sayyid Abdullah sebagai nenek moyang yang memiliki keturunan. Namun kini mereka telah mengetahui bahwa sejarah Filipina telah mencatat keberadaan keturunan beliau, walaupun sampai saat ini saya belum tahu apakah mereka sudah mengadakan kontak dengan keluarga yang di Yaman atau tidak.

Saya pernah beberapakali melihat poster silsilah di beberapa rumah Habib, dimana distu ada kesalahan dengan menulis Abdullah ini sebagai pemilik gelar “Azmatkhan”, mungkin penyusunnya salah menukil atau tertukar nama dengan Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan, karena memang –nampaknya- nama belakang Azmatkhan lebih populer ditulis dibelakang nama Abdullah bin Abdul Malik ketimbang dibelakang nama Abdul Malik-nya. Mungkin hal itu membuat penyusun poster itu menganggap bahwa Abdullah adalah orang pertama yang bergelar Azmatkhan, dan Abdullah pun tertukar lagi antara Abdullah bin Abdul Malik dan Abdullah bin Alawi (saudara Abdul Malik). Maka bagi yang memiliki poster itu saya harap untuk mencoretnya dan memberi catatan sebagai koreksi agar tidak terjadi kesalahan didalam mengambil referensi.

Da’i-da’i Ahlul-bayt bukan hanya memperkenalkan Islam pada orang-orang Asia, melainkan mereka juga mengajarkan budaya pelestarian dan pembukuan sejarah. Al-Hamid menukil bahwa di dalam buku berjudul “Department of The Interior Ethnological Survey Publication Studies in Moro History Law Relegioan“ (Manila Bireau of Republic Printing 1905), didalam menyebut sejarah Mindanau, Naqeeb M. Saleeby berkata: “Sebelum kedatangan Islam tidak terdapat data sejarah yang akurat, dan tidak terdapat pula kisah atau cerita-cerita yang diingat orang. Setelah kedatangan Islam barulah tampak penyebaran ilmu (pengetahuan), peradaban dan berbagai kegiatan.

Undang-undang Dasar yang baru ditetapkan bagi negara, ketentuan-ketentuan hukum tertulis ditetapkan dan silsilah serta cabang-cabang keturunan dari orang besar dibakukan, kemudian dengan hati-hati dan dijaga baik-baik oleh semua Sultan dan para bangsawan”. Silsilah tersebut dibakukan dalam sebuah catatan sejarah yang tertulis dengan bahasa Melayu tinggi, terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

“Alhamdulillah, saya yakin sepenuhnya bahwa Allah menjadi saksi atas saya. Buku catatan ini berisi silsilah Rasulullah SAW (yaitu mereka) yang tiba di Mindanau. Sebagaimana diketahui, Rasulullah SAW mempunyai seorang putri bernama Fatimah Az-Zahra. Putri itu melahirkan dua orang Syarif… dst. Keturunan dari Muhammad (Al-Baqir) putra (Ali) Zainal Abidin (yakni mereka yang datang dari Johor) ialah Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah (Saudara Sayyid Abdul Malik Azmatkhan) bin Alawi Ammil-Faqih… dst.”

Dalam bukunya, “Sejarah Umat Islam”, HAMKA mengatakan bahwa banyak kaum Sadah (Alawiyyin) dan keturunan para sahabat Nabi yang datang dari Malabar. Dikatakan juga bahwa Syarif Ali Ad-Da’iyah menikah dengan keponakan Sultan Muhammad, Sultan Brunai. Kemudian setelah Sultan Muhammad wafat maka Kesultanan diserahkan kepada adik Sultan Muhammad yang bernama Ahmad, setelah Sultan Ahmad meninggal maka dinobatkanlah Syarif Ali sebagai Sultan, maka beliaupun menjadi Sultan ketiga Brunai Darussalam.

Syarif Ali adalah seorang keturunan Al-Hasan, marga beliau adalah Al-Bulkhi atau Al-Bulqiyah. Dengan huruf latin mereka biasa menulisnya “Al-Bolkiah”, seperti Sultan Hasan Al-Bolkiah.

HAMKA juga mengatakan bahwa orang-orang keturunan Arab, khususnya kaum Sayyid, mendapatkan kedudukan dan martabat sangat terhormat. Keturunan mereka memegang tampuk kesultanan Aceh. Sultan yang pertama adalah Sultan Badrul Alam Asy-Syarif Hasyim Jamalullail (1699-1702). Demikian pula dengan Sultan-sultan Kesultanan Siak, Kesultanan Perlis dan Kesultanan Pontianak, mereka adalah kaum Alawiyyin.

Dari riwayat-riwayat itu, kita dapat membayangkan bagaimana senyum Rasulullah SAW ketika beliau menyaksikan keturunan beliau telah memenuhi dan menerangi bumi ini dengan cahaya Islam. Termasuk cucu beliau, Syekh Kholil Bangkalan, yang telah banyak berjasa menyebarkan ilmu dan da’wah Islam di pulau Madura, Jawa dan sekitarnya.
Asy-Syekh Kholil adalah titisan beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga “Azmatkhan” dan bersambung pada Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbat Al-Alawi Al-Husaini.

Berikut ini adalah silsilah nasab Syekh Syekh Kholil, terlebih dahulu saya tulis silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Suanan Kudus, untuk menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga/fam) “Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab.

JALUR SUNAN KUDUS



1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.

2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.

3. Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.

4. Kiai Abdul Karim[1].

5. Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan[2].

6. Kiai Abdul Azhim[3]. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.

7. Kiai Sulasi. Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.

8. Kiai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan.

9. Kiai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan.

10. Kiai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.

11. Kiai Khatib. Ada yang menulisnya “Ratib”. Dimakamkan di Pranggan, Sumenep.

12. Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal). Dimakamkan di Sumenep.

13. Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel Surabaya[4].

14. Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)[5]. Dimakamkan di Kudus.

15. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung)[6]. Dimakamkan di Kudus.

16. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di Gresik.

17. Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di Tuban[7].

18. Sayyid Husain Jamaluddin[8]. Dimakamkan di Bugis.

19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab, India.

20. Sayyid Abdullah[9]. Dimakamkan di Naserabad, India.

21. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naserabad, India.

22. Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.

23. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman.

24. Sayyid Ali Khali’ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.

25. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.

26. Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.

27. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman.

28. Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut, Yaman.

29. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman.

30. Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.

31. Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.

32. Al-mam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.

33. Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.

34. Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.

35. Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.

36. Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di Karbala, Iraq.

37. Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad Rasulillah Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah

Maka, dari jalur Sunan Kudus, Asy-Syekh Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah Shallahu 'alayhi wa sallam.

JALUR SUNAN AMPEL



1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.

2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.

3. Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.

4. Kiai Abdul Karim.

5. Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.

6. Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.

7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kiai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.

8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.

9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.

10. Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo)[10]. Dimakamkan di Sedayu Gresik.

11. Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam

sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis.

12. Sayyid Qasim[11] (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan.

13. Sayyid Ahmad Rahmatullah[12] (Sunan Ampel). Dimakamkan di Ampel, Surabaya.

14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Sulasi dan Kiai Sulasi bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Asy-Syekh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah.

JALUR SUNAN GIRI



1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.

2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.

3. Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.

4. Kiai Abdul Karim.

5. Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.

6. Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.

7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kiai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.

8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.

9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.

10. Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri, Gresik.

11. Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Gresik.

12. Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di Giri, Gresik.

13. Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai.

14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Giri, Syekh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.

JALUR SUNAN GUNUNG JATI



1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.

2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.

3. Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim[13]). Dimakamkan di Bangkalan.

4. Kiai Asror Karomah.

5. Sayyid Abdullah.

6. Sayyid Ali Al-Akbar[14].

7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.

8. Syarifah Khadijah.

9. Maulana Hasanuddin[15]. Dimakamkan di Banten.

10. Syarif Hidayatullah[16] (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di Cirebon.

11. Sayyid Abdullah Umdatuddin.

12. Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam.

13. Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Disini nasab Nyai Khadijah dan Kiai Hamim Kholil bertemu.


Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Syekh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.

JALUR BASYAIBAN



1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.

2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.

3. Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.

4. Kiai Asror Karomah.

5. Sayyid Abdullah.

6. Sayyid Ali Al-Akbar.

7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.

8. Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Hasanuddin).

9. Sayyid Umar.

10. Sayyid Muhammad.

11. Sayyid Abdul Wahhab.

12. Sayyid Abu Bakar Basyaiban.

13. Sayyid Muhammad.

14. Sayyid Hasan At-Turabi.

15. Sayyid Ali.

16. Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.

17. Saayid Ali.

18. Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Disini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.

Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Syekh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah Shallahu 'alayhi wa sallam.

Demikianlah nasab Asy-Syekh Kholil dengan berbagai jalur yang saya dapatkan sampai saat ini, bisa jadi suatu hari nanti kita menemukan nama-nama baru daripada istri-istri jalur laki-laki yang ada itu.

Dalam hal pencatatan nasab, ada satu hal yang cukup membanggakan bagi Kiai-kiai Jawa dan Madura. Berkat gabungan antara adat Arab dalam menjaga silsilah dan adat Jawa/Madura yang tidak membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan, akhirnya Kiai-Kiai Jawa/Madura banyak yang memliki silsilah lengkap dari berbagai jalur. Saya pernah menunjukkan sebuah silsilah seperti ini pada seorang Syekh dari Yaman, beliau merasa kagum karena banyak jalur perempuan yang juga dicatat dalam silsilah itu selain jalur laki-laki, karena pada umumnya, orang Arab tidak tahu nama-nama kakek-buyutnya yang dari jalur ibu atau jalur nenek, mereka hanya mengenal yang jalur ayah keatas dengan garis laki-laki. [*]


______________
Notes ;

[1] Diambil dari catatan Syekh Kholil sendiri pada akhir terjemah beliau atas kitab “Alfiyah Ibnu Malik” pada tahun 1294 H. Beliau menulis nama beliau dengan: “Muhammad Kholil bin Hamim bin Abdul Karim bin Muharrom”. Lihat lampiran “d” Banyak orang yang tidak mencatat nama “Abdul Karim” dan “Muharrom” dalam silsilah Syekh Kholil. Padahal sudah jelas tertera pada kitab tulisan tangan Syekh Kholil. Nasab ini juga diperkuat oleh penuturan Kiai Faqih Konang (Loamer Bangkalan). Kiai Faqih meninggal pada tahun 2006 dalam usia lebih dari 120 tahun. Setahun sebelum meninggal, saya bertemu dengan beliau untuk mengambil riwayat tentang kiai-kiai keturunan Sunan Cendana Kuanyar. Kamipun berbincang-bincang selama kurang lebih empat jam dalam dua kali pertemuan, sampai membuat tamu-tamu yang lain mengantri lama di luar. Beliau sangat gembira dengan kedatagan saya, apalagi dalam rangka mengumpulkan riwayat Kiai-kiai sepuh, sehingga beliaupun memaksa untuk berbicara banyak walapun kondisi tubuh beliau sangat lemah, biasanya beliau menerima tamu hanya sekitar lima menit. Waktu itu saya ditemani oleh Kiai Khozin Bungkak. Sebagian perbincangan itu sempat saya rekam dan saya tulis. Diantara yang beliau sebutkan adalah bahwa Nyai Sulasi (cucu Sunan Cendana) dengan Kiai Sulasi memiliki putra bernama Kiai Abdul Fattah, Kiai Abdul Fattah mempunyai beberapa putra diantaranya bernama Kiai Abdul Azhim, dan diantara putra Kiai Abdul Azhim adalah Kiai Muharrom yang menurunkan Syekh Kholil Bangkalan. Sampai saat ini saya belum menemukan catatan yang mencantumkan nama “Abdul Fattah”, maka dari itu dalam silsilah ini saya tidak memasukkanya, karena saya lebih menguatkan yang ada catatannya. Malah saya punya perkiraan bahwa “Abdul Fattah” itu adalah nama asli Kiai Sulasi, barangkali saja Kiai Faqih salah dengar atau salah ucap. “Sulasi” itu bukan nama orang, melainkan nama tempat yang asalnya adalah “Selase”. Dijuluki Kiai Sulasi karena tinggal di Selase itu. Nah, mungkin saja “Abdul Fattah” adalah nama asli beliau sehingga riwayat Kiai Faqih menjadi rancu antara “Kiai Sulasi” dan “Kiai Abdul Fattah”. Riwayat Kiai Faqih tentang Kiai Muharrom ini lebih menguatkan catatan yang ada dalam kitab Syekh Kholil.

[2] Berdasarkan riwayat Kiai Faqih.

[3] Nama-nama mulai dari Kiai Abdul Azhim sampai ke Raden Santri saya dapatkan dari Kiai Fauzi Lomaer. Beliau mendapatkan dari catatan keluarga Bani Muqiman bin Hamim.

[4] Menurut catatan Kiai Fauzi, beliau inilah yang terkenal dengan julukan “Mbah Sholeh” murid Sunan Ampel.

[5] Ada yang menulis Sunan Kudus sebagai putra Sunan Ampel, terasuk Sayyid Dhiya’ Syihab dalam ta’liq kitab “Syams Azh-Zhahirah”. Namun yang saya lihat dalam banyak catatan silsilah yang dipegang Kiai-kiai di berbagai tempat adalah bahwa ibu Sunan Kudus bernama Nyai Anom Manyuran binti Nayi Ageng Manyuran binti Sunan Ampel. Sampai saat ini banyak kalangan tertentu yang terlalu fanatik dengan kitab “Syams Azh-Zhahirah” dan ta’liqnya, sehingga ada semacam pemahaman bahwa kalau tidak ada dalam kitab tersebut atau bertentangan dengan kitab tersebut berarti tidak sah. Padahal, saya lihat kitab itu banyak kelemahan riwayatnya ketika berbicara tentang Walisongo yang dari keluarga Azmatkhan. Hal itu sebenarnya dapat dimaklumi, karena kitab tersebut dutulis tidak berdasarkan kumpulan riwayat yang tersebar di berbagai tempat. penulis ta’liq kitab tersebut hanya menulis berdasarkan riwayat beberapa orang yang sempat beliau temui, karena beliau tidak banyak waktu untuk mengunjungi semua Kiai dan menanyai silsilah mereka. Namun begitu, beliau telah melakukan hal yang besar dengan memperkenalkan “Sunan-sunan” keluarga Azmatkhan pada Alawiyyin di Arab. Hanya saja, sangat disayangkan karena kemudian tidak ada dari kalangan mereka yang menindaklanjuti langkah beliau dengan menulusuri keturunan Sunan-sunan itu. Hal ini kemudian menimbulkan suatu asumsi yang tidak ilmiyah di kalangan awam mereka, yaitu dengan menganggap bahwa yang tidak tercatat dalam ta’liq “Syams Azh-Zhahirah” berarti tidak sah. Apalagi sering terdengar komentar sinis dari kalangan awam itu bahwa Sunan-sunan tidak punya keturunan laki-laki, karena anak-anak mereka yang laki-laki meninggal sebelum punya anak. Padahal, Sayyid Dhiya’ Syihab dalam ta’liq “Syams Azh-Zhahirah” jelas menulis nama-nama Kiai yang beliau ambil riwayatnya dengan mengatakan bahwa mereka masih keturunan Sunan. Demikian pula dengan Sayyid HMH Al-Hamid, dalam buku “Pembahasan Tuntas Tetang Khilafiah”, beliau juga menyatakan bahwa banyak sekali Kiai-kiai yang bernasab pada Sunan-sunan Azmatkhan dengan garis laki-laki.

[6] Dalam Taliq “Syams Azh-Zhahirah”, Sunan Ngudung ditulis sebagai putra Ali Nuruddin bin Husain Jamaluddin. Berarti Sunan Ngudung adalah saudara kandung ayah Sunan Gunung Jati. Sementara keraton Cirebon tidak mengenal nama Sunan Ngudung sebagai kerabat dekat. Seandainya Sunan Ngudung adalah paman kandung Sunan Gunung Jati, maka tentu bangsawa Cirebon akan mencatat nama beliau sebagaimana nama Falatehan yang menjadi menantu Sunan Gunung Jati. Ditambah lagi dengan riwayat masyhur dalam catatan silsilah Kiai-kiai yang menyatakan bahwa Sunan Ngudung adalah mantu cucu Sunan Ampel. Selain itu, Sunan Ngudung populer di zaman Kesultanan Demak sepeninggal Sunan Ampel, maka hitungan tahunnya lebih layak kalau Sunan Ngudung menjadi keponakan Sunan Ampel daripada menjadi paman Sunan Gunung Jati. Mengingat Ta’liq “Syams Azh-Zhahirah” tidak menyebut referensinya, maka saya lebih menguatkan silsilah yang menyebut “Sunan Ngudung bin Raden Santri”, karena silsilah ini ditulis dengan jelas dalam banyak catatan Kiai-Kiai. Mungkin saja, yang membuat rancu referensi “Syams Azh-Zhahirah” adalah nama “Ali”, karena nama Raden santri dan kakek Sunan Gunung Jati sama-sama ada “Ali”nya. Kalau Raden Santri bernama asli “Fadhal Ali Al-Murtadha” sedangkan kakek Sunan Gunung Jati bernama “Ali Nuruddin” atau yang oleh sebagian orang ditulis “Ali Nurul Alam”.

[7] Nama ini sering dibuat rancu oleh banyak orang. Mereka menganggap bahwa Ibrahim ini adalah Maulana Malik Ibrahim. Adapun Maulana Malik Ibrahim adalah putra Barakat Zainul Alam bin Husain Jamaluddin.

[8] Banyak orang menyebutnya Syekh Jumadil Kubro. Dan ada banyak makam yang dinisbatkan pada Syekh Jumadil Kubro. Maka boleh jadi “Syekh Jumadil Kubro” itu adalah tahrif (salah ucap) dari beberapa nama. Adapun yang paling shahih adalah makam yang di Bugis, karena di sekitar makam itu terdapat banyak keluarga bangsawan yang bernasab pada beliau.

[9] Banyak yang menulisnya “Abdullah Khan”. Ini adalah suatu kesalahan. Marga “Khan” itu bukan marga Sayyid, melainkan marga bangsawan Pakistan yang mengadopsi dari nama belakang penguasa-penguasa Mongol. Sejarah mencatat meratanya serbuan dan perampasan bangsa Mongol di belahan Asia. Diantara nama yang terkenal dari penguasa-penguasa Mongol adalah Khubilai Khan. Setelah Mongol menaklukkan banyak bangsa, maka muncullah Raja-raja yang diangkat atau diakui oleh Mongol dengan menggunakan nama belakang “Khan”, termasuk Raja Naserabad, India. Ketika Sayyid Abdul Malik (ayah Sayyid Abdullah) menjadi menantu bangsawan Naserabad, mereka bermaksud memberi beliau gelar “Khan” agar dianggap sebagai bangsawan setempat sebagaimana keluarga yang lain. Hal ini persis dengan cerita Sayyid Ahmad Rahmatullah ketika diberi gelar “Raden Rahmat” setelah menjadi menantu bangsawan Majapahit. Namun karena Sayyid Abdul Malik dari bangsa “syarif” (mulia) keturunan Nabi, maka mereka menambah kalimat “Azmat” yang berarti mulia (dalam bahasa Urdu India) sehingga menjadi “Azmatkhan”. Dengan huruf arab, mereka menulis عظمت خان bukan عظمة خان, dengan huruf latin mereka menulis “Azmatkhan”, bukan “Adhomatu Khon” atau “Adhimat Khon” seperti yang ditulis sebagian orang. Tentang sejarah keluarga Azmatkhan mulai dari leluhur Sayyid Abdul Malik hingga Sunan-sunan Walisongo, saya telah menulisnya dengan panjang lebar dalam buku “Dari Kanjeng Nabi Sampai Kanjeng Sunan”.

[10] Di Madura banyak silsilah dengan nama “Khathib”, termasuk ayah Sunan Cendana ini. Ketika orang-orang menemukan nama Khathib dan belum dapat “bin siapa”nya, mereka cenderung mencari-cari nama Khathib dalam silsilah lain. Hal ini mengakibatkan adanya banyak kerancuan silsilah keatas seorang “Khathib”, termasuk Khathib ayah Sunan Cendana ini. Saya menguatkan nasab Sunan Cendana dengan silsilah Khathib bin Musa bin Qasim (Sunan Drajat), karena silsilah yang ini dipegang oleh banyak keluarga dari bani Sunan Cendana. Setahu saya, ada dua “Khathib” yang pernah terselip pada silsilah Sunan Cendana selain yang dipegang juru kunci, yaitu Khathib bin Sya’ban bin Sunan Ampel dan Khathib Panjang bin Panembahan Kidul bin Sunan Giri.

Kemudian ada satu hal yang perlu saya bicarakan mengenai silsilah antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat. Ada seorang Arab yang dikenal ahli nasab dan kemudian mengusik nasab Sunan Cendana. Hal ini saya anggap perlu dibahas agar pembaca mengerti persoalannya kalau-kalau suatu saat mendengar “omongan miring” itu. Awalanya begini, suatu ketika saya menunjukkan nasab seseorang yang bersambung pada Sunan Cendana. Iapun merasa keberatan melihat catatan silsilah itu menunjukkan bahwa pemiliknya adalah keturunan ke-35 dari Rasulullah SAW. Sementara dia sendiri (si ahli nasab) yang lebih tua dari pemilik silsilah itu adalah keturunan ke-40. Kemudian si ahli nasab itu mengatakan bahwa silsilah itu meragukan sehingga sulit untuk menembus pengesahan Rabithah Alawiyah (Persatuan Alawiyyin keturuan Al-Hasan dan Al-Husain), karena saksi-saksi yang mengetahui langsung hubungan anak-beranak dari nama-nama dalam silsilah itu sudah meninggal semua. Tidak beberapa lama kemudian saya bertemu dengan Kiai Hannan (juru kunci makam Sunan Cendana). Ketika berbincang-bincang tentang nasab Sunan Cendana, Kiai Hannan berkata bahwa beberapa bulan yang lalu beliau berbincang-bincang dengan si ahli nasab itu, dia bilang bahwa antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat itu ada sekitar empat nama yang hilang, mestinya bukan Sunan Cendana bin Khathib bin Sunan Drajat, melainkan setidaknya Sunan Cendana bin Khathib bin fulan bin fulan bin fulan bin fulan bin Sunan Drajat. Dengan cerita Kiai Hannan itu, saya baru paham mengapa si ahli nasab itu keberatan dengan silsilah keturunan Sunan Cendana, yaitu karena nasab keturunan Sunan Cendana kebanyakan sangat tinggi dibanding si ahli nasab, nampaknya ia keberatan untuk kalah tinggi dengan keturunan Sunan Cendana, sehingga iapun berani berbohong meyakini ada sedikitnya empat nama yang hilang. Untuk itu saya kemukakan beberapa hal berikut:

1. Megenai saksi-saksi yang diminta itu, saya rasa itu adalah sangat berlebihan. Itsbat (membenarkan) nasab itu tidak harus ada saksi yang tahu langsung hubungan anak-beranak antara seseorang dengan ayahnya. Jangankan untuk orang lain, untuk kakek saya sendiri saja saya tidak bisa mendatangkan saksi yang tahu langsung bahwa kakek adalah putra buyut saya, saksi yang tahu langsung sudah meninggal semua, saya tahu itu dari ayah dan keluarga saya lainnya yang pernah bertemu kakek, sebagaimana mereka tahu tentang buyut mereka dari kakek. Itsbat itu cukup dengan riwayat, bahwa apabila ada riwayat tentang sebuah nasab yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah (bisa dipercaya) secara turun temurun, apalagi sampai ada catatannya, maka hal itu sudah sangat cukup untuk itsbat nasab. Sedangkan catatan silsilah atas-bawah Sunan Cendana tersebar pada ratusan keluarga keturunan beliau yang rata-rata keluarga ulama besar. Apakah kita masih menyangsikan catatan yang dipegang oleh semisal keluarga Syekh Kholil Bangkalan, Syekh Syamsuddin Ombhul (Sampang), Kiai As’ad Syamsul Arifin (Asembagus), Kiai Hasan Genggong (Probolinggo), Kiai Abdur Rahim Sarang (Rembang Jawa Tengah) dan yang lain-lain? Mereka semua adalah ulama-ulama besar. Mereka adalah keturunan Sunan Cendana dan masing-masing memegang silsilah yang diterima turun temurun.

2. Kesimpulannya, silsilah antara keturunan Sunan Cendana yang sekarang hingga Sunan Cendana sama sekali tidak ada masalah. Maka masalahnya tinggal antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat. Tadi disebutkan bahwa si ahli nasab menuduh ada sekitar empat nama yang hilang antara Sunan Cendana dan Sunan Derajat. Coba kita perhatikan berikut ini: Sejarah mencatat bahwa Sunan Derajat lahir sekitar tahun 1470 M. (+ 930 H.) Sedangkan menurut catatan turun temurun, Sunan Cendana hidup pada zaman Cakraningrat I Bangkalan, kira-kira tahun 1625. Berarti jarak antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat sekitar 155 tahun. Nah, jarak itu sangat layak untuk diisi empat generasi, yaitu Sayyid Musa, Sayyid Muhammad Khathib, Sayyid Zainal Abidin dan putra-putra beliau, karena beliau berusia panjang. Dari pernyataan dan kesimpulan itu, saya kemudian menarik kesimpulan bahwa keberatan yang dikemukakan oleh si ahli nasab itu hanya karena keberatan untuk dianggap nasabnya kalah tinggi dengan keturunan Sunan Cendana. Iapun beruasaha untuk menciptakan kesangsian terhadap silsilah keluarga Sunan Cendana. Mengingat dari Sunan Cendana kebawah tidak ada celah untuk dituduh “kurang nama”, karena kebanyakan keturunan Sunan Cendana telah menjaga silaturrahim, maka iapun melemparkan tuduhan itu pada antara Sunan Cendana dan Sunan Drajat. Sayangnya, ia tidak memperhatikan tahun kelahiran mereka, sehingga tuduhan itupun berbalik menjadi hal yang memalukan bagi dirinya.

Hendaknya dipahami, bahwa ketaqwaan itu lebih mendekatkan seseorang pada leluhurnya yang shaleh, bukan hitungan nasabnya. Cucu Siti Fathimah yang ke-33 tidak lebih mulia daripada cucu yang ke-40. Apabila lebih bertaqwa dan lebih berprestasi, maka cucu ke-40 akan lebih dekat dengan Siti Fathimah daripada cucu ke-33. Kesalahpahaan mengenai hal ini cenderung membuat orang merasa gengsi untuk mengakui kedekatan nasab orang lain, apalagi ketika yang bernasab lebih dekat itu lebih muda atau dianggap “orang biasa”.

[11] Ada yang menulisnya “Hasyim”, seperti Ta’liq “Syams Azh-Zhahirah”. Saya menguatkan “Qasim” karena nama itu yang saya temukan dalam semua catatan yang saya temui di tangan Kiai-kiai keturunan Sunan Drajat.

[12] Ada yang menulisnya “Ali Rahmatullah”, seperti Ta’liq “Syams Azh-Zhahirah”. Saya menguatkan “Ahmad Rahmatullah” karena nama itu yang saya temukan dalam semua catatan yang saya temui di tangan Kiai-kiai keturunan Sunan Ampel.

[13] Kiai Hamim adalah menantu Kiai Asror. Sebagian silsilah mencatat “Hamim bin Asror”. Kerancuan itu sebenarnya berawal dari kalimat “Syekh Kholil putra Kiai Hamim dan cucu Kiai Asror”. Orang yang tidak tahu persis menjadi salah paham. Adapun lebih menisbatkan Syekh Kholil sebagai cucu Kiai Asror daripada sebagai cucu Kiai Abdul Karim (ayah Kiai Hamim) itu berawal dari adat orang Jawa dan Madura yang tidak membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan, sehingga ketika memilih kakek, mereka akan memilih kakek yang paling keramat walaupun dari garis ibu. Syekh Kholil dinisbatkan sebagai cucu Kiai Asror karena Kiai Asror lebih terkenal daripada Kiai Abdul Karim. Akibat Syekh Kholil lebih dikenal sebagai cucu Kiai Asror, maka beliaupun lebih dikenal sebagai cucu Sunan Gunung Jati, padahal Kiai Asror juga cucu Sunan Gunung Jati dari garis perempuan. Sebelum ini, jarang orang yang tahu bahwa nasab Syekh Kholil yang garis laki-laki bersambung pada Sunan Kudus, sedangkan beberapa jalur perempuan beliau juga bersambung pada Sunan Ampel dan Sunan Giri.

[14] Banyak catatan yang saya temukan kehilangan nama ini. Padahal nama ini sudah masyhur di kalangan keluarga Basyaiban dan telah disahkan Robithoh Alawiyah.

[15] Sebagian silsilah yang tidak mencatat nama ini. Mungkin “kelewatan” itu berangkat dari kalimat “Sayyid Sulaiman adalah keturunan Sunan Gunung Jati dari pihak ibu”. Keturunan bisa cucu dan bisa cicit. Ketika kalimat itu dimaksudkan cicit, maka yang mendengar mengira cucu, sehingga langsung saja ia menyimpulkan “Sulaiman bin putri Sunan Gunung Jati”. Wallahu a’lam.

[16] Ada yang menulis bahwa Hidayatullah adalah nama lain dari Fatahillah yang berasal dari aceh, termasuk HAMKA yang kemudian dinukil oleh kitab “Syams Azh-Zhahirah”. Adapun yang benar adalah bahwa Hidayatullah dan Fatahillah itu dua orang yang berbeda. Adapun Fatahillah adalah putra Sayyid Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Barakat bin Husain Jamaluddin. Fatahillah dikenal dengan panggilan “Falatehan”, pernah menjadi Panglima Perang Kerajaan Demak, kemudian menjadi Panglima Perang Kesultanan Cirebon di masa Sunan Gunung Jati dan menaklukkan Sunda Kelapa. Setelah itu beliau menikah dengan putri Sunan Gunung Jati.

Tidak ada komentar: